get app
inews
Aa Text
Read Next : Mitos Bra Kawat Picu Kanker Payudara, Ini Penjelasan Dokter Ahli

Pertarungan Abadi di Kloset: Tisu vs Air, Mengapa Dunia Terbelah dalam Urusan Cebok?

Kamis, 24 April 2025 | 20:37 WIB
header img
tisutoliet,iNewsLutra.id

iNewsLutra.id - Dalam hal urusan toilet, dunia ini rupanya terbagi dengan sangat tegas, satu kubu setia dengan guyuran air, sementara yang lain teguh dengan usapan tisu.

Pertarungan diam-diam ini tidak hanya berlangsung di kamar mandi, tetapi juga berakar dalam sejarah, budaya, bahkan iklim.

Mayoritas masyarakat Timur dari Indonesia, India, hingga sebagian Afrika tak bisa melewatkan ritual cebok tanpa air.

Sebaliknya, masyarakat Barat sejak lama nyaman dengan gulungan tisu toilet. Tapi mengapa perbedaan ini bisa terjadi, dan bagaimana sejarahnya?

Menengok ke masa lampau, tradisi membersihkan diri usai buang air besar sebenarnya sudah ada sejak zaman purba.

Tentu belum ada tisu gulung kala itu. Masyarakat beradaptasi dengan lingkungan: ada yang pakai dedaunan, batu, hingga tangan kosong.

Romawi Kuno di abad ke-6 SM misalnya, memilih batu sebagai alat pembersih, sementara masyarakat Timur Tengah menggunakan air, sesuai tuntunan ajaran agama.

Ternyata, tisu sebagai alat cebok bukan berasal dari dunia Barat seperti yang kerap dikira. Menurut riset "Toilet Hygiene in the Classical Era" (2012), tisu pertama kali terdeteksi di Tiongkok negara yang juga melahirkan kertas.

Dari sanalah tisu berkembang, hingga akhirnya mulai disebut-sebut di Barat pada abad ke-16, salah satunya oleh sastrawan Prancis, Francois Rabelais. Namun ironisnya, Rabelais sendiri mengaku tisu toilet tidak efektif untuk cebok.

Lalu, mengapa tetap digunakan? Jawabannya sederhana: cuaca. Di negara-negara beriklim dingin, menyentuh air—apalagi dalam kondisi tubuh setengah telanjang—bukan perkara nyaman. Di sisi lain, masyarakat tropis justru merasa belum bersih kalau tak menggunakan air.

Pola konsumsi juga turut memengaruhi. Penduduk Barat, dengan pola makan rendah serat, menghasilkan tinja yang lebih padat dan kering. Cukup satu-dua lembar tisu, masalah selesai. Sementara di Asia atau Afrika, makanan tinggi serat menghasilkan kotoran yang lebih banyak dan lembek—membutuhkan air untuk benar-benar bersih.

Namun, dari sudut pandang medis, air tetap juaranya. Cebok pakai air terbukti lebih efektif dalam menghilangkan bakteri dan kotoran secara menyeluruh. Bahkan, sejumlah penelitian kesehatan menyebut bahwa penggunaan tisu saja berisiko meninggalkan sisa kotoran yang bisa menyebabkan iritasi hingga infeksi.

Meski begitu, budaya tetap jadi raja. Inovasi industri, seperti munculnya tisu gulung pada tahun 1890 dan ekspansi pabrik tisu global, kian mengokohkan kebiasaan cebok kering di Barat. Kebiasaan ini pun diwariskan lintas generasi, hingga menjadi bagian dari identitas budaya.

Jadi, apakah Anda tim tisu atau tim air? Apapun pilihan Anda, satu hal yang pasti, cara cebok adalah cermin dari sejarah, budaya, dan gaya hidup masyarakat—lebih dari sekadar pilihan higienis di kamar kecil.

Editor : Nasruddin

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut