LUWU TIMUR, iNewsLutra. Id - Waktu terus berputar. Kini kita kembali berganti tahun, memasuki tahun baru 1445 Hijriyah.
Dalam sejarah, penanggalan Hijriyah ditandai dengan hijrahnya Rasulullah Muhammad SAW dan para sahabat setia beliau, dari Makkah ke Madinah.
Syiar Islam di Makkah ketika itu, menemui rintangan, hambatan dan kebencian yang luar biasa dari penduduk setempat.
Caci maki, penganiayaan dan penindasan terhadap Rasulullah serta sahabat-sahabatnya menjadi tak tertahankan lagi. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk berhijrah ke Madinah.
Mereka yang ikut rombongan hijrah dari Makkah disebut golongan Muhajirin, sedangkan yang menerima kedatangan mereka di Madinah disebut kaum Anshar (penolong).
Oleh Rasulullah SAW, Muhajirin dan Anshar kemudian dipersaudarakan atas dasar iman dan Islam.
Hijrah telah menjadi momentum perubahan fundamental dalam gerakan dakwah dan syiar Islam. Dari awalnya hanya sembunyi-sembunyi di Makkah, lalu menjadi lebih terbuka kepada masyarakat umum di Madinah.
Proses hijrah yang fenomenal inilah yang kemudian memberikan daya ungkap bagi perkembangan syiar Islam yang terus tumbuh dan berkembang hingga saat ini.
Hijrah Kekinian
Jika ditarik pada kondisi kekinian, maka menggambarkan hijrah Rasulullah saat itu ibarat sikap mengalah untuk sementara, lalu menyusun kekuatan untuk menang kembali.
Sebuah keputusan bijaksana dengan melihat dan mempertimbangkan kondisi yang ada. Tindakan yang tidak hanya didasari untuk mencari keselamatan, tetapi juga dilandasi oleh keyakinan untuk bisa lebih baik setelahnya.
Spirit berhijrah bisa menjadi energi dan kekuatan bagi diri, keluarga, masyarakat dan bangsa untuk bisa hidup lebih baik, lebih maju, lebih sejahtera dan sebagainya.
Hanya saja, yang sangat perlu dilakukan sebelum hijrah adalah membangkitkan kesadaran sepenuhnya bahwa ada hal-hal yang perlu kita rubah, perlu dikoreksi agar bisa lebih baik lagi.
Berhijrah yang dimaknai dan diimplementasikan dalam tradisi yang positif agar bisa lebih baik lagi, memungkinkan terjadinya perubahan fundamental terhadap nasib diri, keluarga, masyarakat dan bangsa sekalipun.
Pada konteks kebangsaan, hijrah dapat kita wujudkan sebagai ikhtiar perubahan dan perbaikan masa depan bangsa yang lebih maju, sejahtera dan berkeadilan.
Hijrah kebangsaan perlu kita lakukan untuk mengembalikan tujuan dibentuknya negara ini sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945, yakni untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Hijrah kebangsaan sesungguhnya dapat dilakukan melalui momenum Pemilihan Umum (Pemilu) yang beberapa bulan lagi akan kita lakukan, yakni pada 14 Februari 2024.
Pada Pemilu, setiap warga negara berhak untuk memilih siapa Presiden dan Wakil Presiden, serta anggota legislatif yang akan mewakilinya di parlemen. Saat itulah, setiap pilihan akan menentukan nasib bangsa ini 5 tahun ke depannya.
Jika spirit berhijrah menjadi landasan pilihan kita, maka pastikan bahwa yang akan kita pilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPD/DPR/DPRD adalah mereka yang kita yakin mampu membawa perubahan dan perbaikan nasib bangsa ini.
Hanya dengan cara itu, kita bisa melihat bangsa ini bisa berubah ke arah yang lebih baik, sembari tak henti-hentinya bermunajat kepada Sang Khalik agar meridhoi ikhtiar dan pilihan-pilihan politik kita. Aamiin.
Oleh: Asri Tadda (Waketum Konfederasi Nasional Relawan Anies/KoReAn)
Artikel ini diterbitkan berdasarkan hasil pemikiran penulis dan dipertanggungjawabkan oleh penulis.
Editor : Nasruddin
Artikel Terkait