Berikut Sejarah Pulau Libukang Palopo, Pulau Kecil yang Unik dan Sakral

Nasruddin Rubak
Festival Pulau Libukang dalam rangka peringati hari jadi Kota Palopo ke 21 (Foto: Nasruddin Rubak)

PALOPO,iNewsLutra.id - Festival Pulau Libukang dalam rangka hari jadi Kota Palopo ke 21 menjadi salah satu momen bersejarah bagi keturunan Nenek Pokko' masyarakat penghuni pulau yang ada di jazirah utara Sulawesi Selatan, Kamis (27/7/2023).

Dalam festival tersebut sejumlah kegiatan dilaksanakan mulai dari perahu hias, festival kuliner hingga menampilkan berbagai permainan tradisional.

Rektor IAIN Palopo, Dr Abbas Langaji sekaligus keturunan penghuni Pulau Libukang menceritakan sejarah singkat tentang Pulau Libukang.

Dalam sambutannya, Abbas Langaji menceritakan jika Pulau Libukang merupakan hadiah dari datu Luwu ke Nenek Pokko' yang berhasil menyelesaikan gangguan premanisme pada abad ke 19.

"Pada abad ke 19 Datu Luwu terusik dengan adanya sekelompok preman yang kerap membuat onar di wilayah Pattiware. Saat itu, salah satu pemikir mengusulkan Nenek Pokko' untuk mengatasinya," kata mantan Rektor Pasca Sarjana IAIN tersebut.

Menurut Abbas, meski secara fisik Nenek Pokko' memiliki badan yang kecil dan tidak memiliki tangan namun ia jago silat, ia pun berhasil menyelesaikan misi yang diberikan Datu Luwu.

Saat itu, Datu Luwu memberikan pilihan ke Nenek Pokko sebagai hadiah dengan satu syarat tidak meminta untuk menjadi menantu Datu.

Saat itu, Nenek Pokko' Lalu mengambil batu lalu melempar ke arah Pulau Libukang, Datu yang mengerti dengan keinginannya itu kemudian menyerahkan pulau tersebut sebagai hadiah.

Berikut Sejarah Singkat Pulau Libukang

Libukang adalah nama spesial yang selalu tersimpan di dalam hati orang-orang yang pernah singgah dan lahir disitu, penduduknya hidup rukun, gemar bergotong royong dan selalu menyambut tamunya dengan keramah-tamahan. 

Libukang berasal dari kata Libu’, yang berarti melingkari/menutup atau kampung yang mengelilingi Pulau. Pulau Libukang merupakan warisan dari para leluhur Wija To Libukang. Hal tersebut juga pernah dipertegas oleh Datu Luwu Andi Djemma, ketika berkunjung ke Pulau Libukang kala itu. 

Pulau kecil nan sakral, yang terletak disebelah timur kota ini, dengan hamparan luas saat ini ± 8 Ha, merupakan kebanggaan yang tersendiri bagi para pewarisnya. Dahulunya Pulau ini terbagi atas tiga wilayah, yang pertama Kampong Tengngah, kedua Kampong Alau’ dan ketiga Kampong Orai’. Setiap kampung memiliki pemimpin, namun kesemuanya tetap patuh pada Khalifah. Di pulau ini terdapat 3 (tiga) Batu Lakumba’ (sumber mata air tawar).

Leluhur To Libukang itu pandai berdagang, menangkap ikan untuk dimakan bersama, mahir bela diri, kami mengenal 12 jurus silat yang hingga kini masih diteruskan dan mereka gemar bermain bola, lapangan bola yang masih membekas di Kampong Tengah adalah saksi bisunya.

Seorang Wija tidak diperkenankan meninggalkan kampung kalua ia dinilai belum cakap pemahaman tauhidnya. Maka ilmu agama ditanamkan sejak dini lewat pendekatan Tasawuf oleh para pendahulu.

Dalam mythologi dikisahkan bahwa Pulau Libukang yang dihuni sejak ratusan tahun silam oleh para leluhur To Libukang, merupakan bekas lapukan dari salah satu diantara 7 (tujuh) buah kapal Sawerigading, setelah kembali dari pelayaran panjangnya.

Sebagaimana telah dikisahkan dalam sure’ I La Galigo, bahwa pada masa tuanya, Sawerigading pernah Kembali ke Tana Luwu untuk menobatkan cucunya La Tenritatta menjadi Raja Luwu, dan setelah itu ia menghilang (tinrelle’) di sungai cerekang.

Dalam cerita orang tua kami, pulau ini pertama kali dihuni oleh Nenek Pokko’, seorang pendekar tua dengan badan kecil-pendek dan isterinya Bernama Nenek Kinocamborong. Nenek Pokko’ sendiri merupakan inisial, karena beliau mempunyai jemari yang tidak lengkap, sebab terluka setelah ‘duel maut’ dengan seseorang sakti yang mengusik Datu Luwu kala itu. 

sumber lain mengatakan bahwa datu luwu mengadakan sayembara untuk menangkap/membunuh seorang “penjahat” yang sangat meresahkan kedatuan luwu kala itu. Dari mereka berdua lahir-lah anak yang kemudian juga melahirkan generasi berikutnya hingga kini.

Dalam catatan Gubernur Celebes Tahun 1888, DF Van Braam Morris, menyebutkan pada saat itu ada sekitar 400 orang yang bermukim di Pulau Libukang, belum termasuk mereka yang telah pindah dan membuka perkampungan pesisir di Penggoli, Tappong, PonjalaE, Campa, kampong beru, Bola Sada, Balandai, Batu dan Songka.

Pada masanya, Pulau Libukang menjadi salah satu tempat Syiar Islam di Tana Luwu. Para Leluhur To Libukang dikenal sebagai pengamal ajaran Tarekat Khalwatiyah Samman di Tana Luwu, Khalifah yang melegenda yakni Nenek Pua’ Hawang (Puang Hawang) merupakan tokoh sentral yang paling banyak diceritakan.

Makamnya diberi tanda kelambu berwarna kuning sebagai simbol kepada kami generasi yang dibelakang bahwa pusara dengan nisan kayu yang telah bermetamorfosa menjadi fosil itu, merupakan sosok yang mempunyai keteladanan. Membumi di bukit, bersemai ditepi sungai mancani, menyingkap tabir sejarah kehidupan yang penuh perjuangan.

Pada masa peralihan kepemimpinan Sitti Huzaimah Andi Kambo Opu Dg. Risompa, campur tangan pihak belanda tampak untuk menanggalkan Andi Djemma, maka para leluhur To Libukang tampil sebagai pendukung setia Andi Djemma yang kemudian akhirnya menaiki tahta Kedatuan Luwu kala itu. 

Pun halnya Ketika Meletus peristiwa 23 Januari 1946, diceritakan bahwa para gadis-gadis Penggoli dan Tappong hilir-mudik mempersiapkan perbekalan pelayaran ‘Pejuang 46’ ke tenggara, mengawal Datu Luwu Andi Djemma, memimpin gerilya dalam menghadapi tentara Sekutu/NICA untuk mempertahankan Proklamasi kemerdekaan 1945.

Beberapa Pemuda-Pemuda Libukang yang turut serta kala itu hanya pulang, tinggal namanya. Ininnawaa Sabbara’ko, Lolongeng Gare’ Deceng To Sabbara’ede, sepenggal bait senandung, yang tentu masih lekang terdengar ditelinga para Wija-Wijanna To Libukang, senandung yang senantiasa mengingatkan kita kepada orang tua, menjadi pelipur lara, ketika sang buah hati dalam peraduan. 

Senandung ini merupakan do’a dan nasihat, yang didalamnya mengandung empati yang begitu besar, rasa terima kasih kepada Sang Pencipta dan sesama manusia.

Pada tahun 1959 Pulau ini mulai ditinggalkan, hingga tahun 1963 pasca meletusnya peristiwa DI-TII di Sul-Sel, semua penduduk dipindahkan ke kota, lalu tentara jawa membabat habis pepohonan sampai tanah merahnya tampak dari tanjung ringgit. Hal tersebut rupanya disaksikan oleh orang-orang tua kami dengan tangis, mengenang kehidupannya ketika diseberang.

Sejak itulah Pulau Libukang ditinggalkan oleh penduduknya, kebahagian besar bergabung dengan komunitasnya yang telah mendominasi wilayah pesisir Kota Palopo dan beberapa diantaranya bermigrasi ke utara Baebunta, Masamba, terus ke timur Malili dan sekitarnya, terus ke daerah Tenggara dan sampai Parigi Moutong serta menyebar ke selatan daerah Bua, Balambang sampai pada wilayah Paconne, bahkan ke Larompong dan seterusnya.

Sejak kehidupan Masyarakat Libukang terfokus ke kota, maka dibangunlah Masjid di Kampung Penggoli kala itu, Masjid Tertua setelah Masjid Jami’ di Kota Palopo. Dibangun sebagai simbol semangat Keislaman dan Semangat Persatuan Wija To Libukang.

Muhammad Karimun Puang Opu Tominahaya atau yang lebih populer dikenal Puang Opu, sebagai Khalifah yang mengawal transisi perpindahan tersebut, beliau juga merupakan Veteran Pejuang Tana Luwu dan Mantan Pegawai Departemen Penerangan, kala itu. Selama kepemimpinannya, Wija To Libukang sangat terjaga persatuannya.

Dalam kehidupan Wija To Libukang sosok Khalifah memiliki kedudukan penting yang tidak dapat dipisahkan dengan masyarakatnya, To Risurona PuangE na Anak Mangajinna. Khalifah sendiri berarti Pemimpin, bukan hanya sebagai pemimpin komunitas seperti biasa, ia juga mengajarkan ilmu agama dan menjaga kemaslahatan.

Sosok Khalifah, memiliki kharisma yang kuat bagi para pengikutnya, mempunyai pemahaman tauhid yang mendalam, menjadi solusi dalam setiap masalah, serta mampu bersikap arif dan bijaksana dalam menilai setiap persoalan yang dihadapi oleh Anak Manggajinna. Atas itulah Wija To Libukang sangat patuh kepada Khalifahnya.

Hingga saat ini masyarakat, rumpun keluarga besar Wija To Libukang masih berpegang teguh terhadap prinsip-prinsip yang telah diwariskan oleh pendahulunya, yang tua tetap dituakan.

Bagi mereka menjaga tali silaturrahmi dan menghormati Khalifah, merupakan bahagian untuk saling mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hingga saat ini persatuan itu tetap terjaga, meskipun secara geografis kami telah terpisah-pisah, secara politik dan latar belakang keilmuan kami berbeda, tetapi yakinlah, Pulau Libukang dan Masjid Penggoli merupakan simbol perekat yang semakin tua, semakin berwibawa dimata para penerusnya.

Pada momen-momen tertentu kami menyempatkan ke pulau ini, berziarah ke makam leluhur yang dibalut silaturrahmi sesame keluarga, dan bagi mereka yang ada di perantauan, ketika pulang kampung masih menyempatkan ma’berejama’ (berjamaah) di Masjid Penggoli, berzikir sampai menggetarkan hati, berdo’a bersama, mendengarkan petuah agama dan tak sadar air 

mata pun jatuh, ketika rasa rindu terbayarkan, mengenang masa-masa saat bersama orang tua kami yang telah pergi.

Dalam kesusastraan To Libukang, dikenal kesusastraan klasik yang disebut ‘Pappessang’, yang didalam Bahasa Indonesia disebut sebagi pesan atau wasiat, yang mengandung ajaran moral bernafaskan Islami, hal tersebut dapat dipahami karena seratus persen para leluhur To Libukang menganut Ajaran Islam.

Dari banyaknya pappessang yang telah ditinggalkan oleh pendahulu kami, untuk penutup, izinkan saya mengutip salah satunya “Sipakalebbi’ Ko ri Alebbiremmu, Sipakka Ade’ Ko ri Pangngadaremmu”.

Editor : Nasruddin

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network