Hukum Puasa bagi Anak di Bawah Umur Menurut Nahdlatul Ulama

iNewsLutra.id - Puasa merupakan ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap umat Muslim yang telah baligh dan mampu melaksanakannya.
Namun, bagi anak-anak yang belum mencapai usia baligh, pertanyaan mengenai kewajiban mereka untuk berpuasa seringkali menjadi perdebatan.
Di Indonesia, salah satu organisasi Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU), memiliki pandangan tersendiri mengenai hukum puasa bagi anak di bawah umur.
Artikel ini akan membahas pandangan NU mengenai masalah tersebut, dengan mengutip berbagai sumber serta penjelasan yang berlaku dalam konteks keagamaan dan sosial.
Puasa, dalam konteks agama Islam, adalah menahan diri dari makan, minum, dan segala hal yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari.
Puasa merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang wajib dilakukan oleh setiap Muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat utama untuk melaksanakan puasa adalah telah mencapai usia baligh, yang biasanya ditandai dengan ciri fisik tertentu seperti haid bagi perempuan atau mimpi basah bagi laki-laki.
Namun, di luar kewajiban yang bersifat wajib bagi orang dewasa, banyak orang tua yang ingin anak-anak mereka mulai berpuasa meski mereka belum mencapai usia baligh.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah ada hukum yang jelas mengenai puasa bagi anak-anak menurut pandangan Islam, khususnya dalam konteks NU?
Nahdlatul Ulama, sebagai organisasi yang berpegang pada ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, memiliki pandangan yang bijak dan moderat terkait pelaksanaan ibadah, termasuk puasa, pada anak-anak.
Dalam ajaran NU, puasa bagi anak-anak bukanlah kewajiban, melainkan anjuran dan latihan untuk mempersiapkan mereka menjadi Muslim yang dewasa.
Menurut pandangan NU, anak-anak di bawah usia baligh tidak diwajibkan untuk berpuasa, tetapi disarankan untuk mulai berlatih puasa secara bertahap.
Hal ini sesuai dengan prinsip Islam yang tidak memberatkan umatnya. Sebagai contoh, anak-anak yang berusia sekitar 7 tahun bisa mulai dilatih untuk berpuasa setengah hari, atau puasa dari waktu zuhur hingga maghrib.
Seiring bertambahnya usia dan kemampuan fisik, anak-anak bisa diajarkan untuk berpuasa penuh.
Kiai Hasyim Asy'ari, salah satu tokoh pendiri NU, sering menekankan pentingnya mendidik anak-anak untuk beribadah sejak dini, tetapi dalam batas yang wajar dan tidak membebani mereka.
Dalam pandangan beliau, puasa bagi anak-anak adalah latihan spiritual yang bertujuan untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab agama tanpa menyebabkan tekanan atau ketidaknyamanan berlebihan pada anak.
Oleh karena itu, dalam ajaran NU, puasa bagi anak-anak lebih bersifat sebagai proses pendidikan agama dan bukan kewajiban yang harus dipaksakan.
Menurut mayoritas ulama, termasuk yang diakui oleh NU, puasa menjadi wajib bagi setiap Muslim yang telah mencapai usia baligh.
Usia baligh ini ditandai dengan dua hal: pertama, adanya tanda fisik seperti mimpi basah pada laki-laki atau haid pada perempuan, atau kedua, usia 15 tahun jika tanda-tanda fisik tersebut belum muncul.
Di luar itu, seseorang dianggap belum wajib berpuasa meskipun ia sudah cukup dewasa dalam usia.
NU sangat memperhatikan hal ini dengan menekankan bahwa setiap individu yang sudah baligh wajib menjalankan puasa dengan penuh tanggung jawab.
Namun, bagi anak-anak yang belum baligh, NU tidak memaksa mereka untuk melaksanakan puasa, melainkan menyarankan mereka untuk memulai latihan berpuasa agar mereka terbiasa ketika tiba saatnya.
Meskipun puasa bukanlah kewajiban bagi anak-anak di bawah umur, ajaran NU tetap menganjurkan orang tua untuk memperkenalkan puasa kepada anak-anak mereka secara bertahap.
Ada beberapa alasan mengapa latihan puasa untuk anak-anak dianggap penting dalam perspektif NU.
Pertama, latihan puasa bertujuan untuk mengajarkan anak tentang kedisiplinan dan pentingnya menahan hawa nafsu, yang merupakan salah satu nilai utama dalam agama Islam.
Kedua, dengan memperkenalkan puasa sejak dini, anak-anak dapat memahami makna spiritual dari ibadah ini dan mulai merasakan manfaatnya secara psikologis dan sosial.
Orang tua diharapkan untuk memotivasi anak-anak mereka untuk berpuasa dengan cara yang menyenankan, misalnya dengan memberikan pujian atau hadiah kecil bagi anak-anak yang berhasil menjalankan puasa setengah hari.
Latihan ini diharapkan dapat membentuk karakter anak yang tidak hanya disiplin dalam beribadah, tetapi juga memahami betapa pentingnya menjaga keharmonisan tubuh dan jiwa.
Dalam praktiknya, sebagian besar anak-anak di Indonesia mulai berpuasa pada usia sekitar 7 hingga 10 tahun, meskipun mereka belum wajib menurut syariat.
Di banyak daerah, bahkan ada tradisi khusus yang dikenal dengan "puasa sunnah" bagi anak-anak yang belum baligh, di mana anak-anak diharapkan untuk berlatih puasa pada bulan Ramadhan meskipun tidak penuh.
Secara keseluruhan, meskipun puasa belum menjadi kewajiban bagi anak-anak menurut hukum Islam, NU mendorong orang tua dan masyarakat untuk mempersiapkan generasi muda untuk menjalani puasa secara bertahap dengan cara yang menyenankan dan tidak memberatkan.
Dalam pandangan Nahdlatul Ulama, puasa bagi anak di bawah umur bukanlah kewajiban, tetapi lebih kepada latihan untuk mempersiapkan mereka menjadi pribadi yang disiplin dan bertanggung jawab secara agama.
Dengan tidak memaksakan anak-anak untuk berpuasa penuh sebelum baligh, NU memberikan pendekatan yang lebih bijak, yang tetap menghargai kebiasaan dan kebutuhan fisik anak-anak.
Pendidikan agama yang moderat dan penuh kasih sayang ini diharapkan dapat membantu anak-anak tumbuh menjadi Muslim yang taat dan berdaya saing. (Wdy)
Editor : Nasruddin