Makamnya diberi tanda kelambu berwarna kuning sebagai simbol kepada kami generasi yang dibelakang bahwa pusara dengan nisan kayu yang telah bermetamorfosa menjadi fosil itu, merupakan sosok yang mempunyai keteladanan. Membumi di bukit, bersemai ditepi sungai mancani, menyingkap tabir sejarah kehidupan yang penuh perjuangan.
Pada masa peralihan kepemimpinan Sitti Huzaimah Andi Kambo Opu Dg. Risompa, campur tangan pihak belanda tampak untuk menanggalkan Andi Djemma, maka para leluhur To Libukang tampil sebagai pendukung setia Andi Djemma yang kemudian akhirnya menaiki tahta Kedatuan Luwu kala itu.
Pun halnya Ketika Meletus peristiwa 23 Januari 1946, diceritakan bahwa para gadis-gadis Penggoli dan Tappong hilir-mudik mempersiapkan perbekalan pelayaran ‘Pejuang 46’ ke tenggara, mengawal Datu Luwu Andi Djemma, memimpin gerilya dalam menghadapi tentara Sekutu/NICA untuk mempertahankan Proklamasi kemerdekaan 1945.
Beberapa Pemuda-Pemuda Libukang yang turut serta kala itu hanya pulang, tinggal namanya. Ininnawaa Sabbara’ko, Lolongeng Gare’ Deceng To Sabbara’ede, sepenggal bait senandung, yang tentu masih lekang terdengar ditelinga para Wija-Wijanna To Libukang, senandung yang senantiasa mengingatkan kita kepada orang tua, menjadi pelipur lara, ketika sang buah hati dalam peraduan.
Senandung ini merupakan do’a dan nasihat, yang didalamnya mengandung empati yang begitu besar, rasa terima kasih kepada Sang Pencipta dan sesama manusia.
Pada tahun 1959 Pulau ini mulai ditinggalkan, hingga tahun 1963 pasca meletusnya peristiwa DI-TII di Sul-Sel, semua penduduk dipindahkan ke kota, lalu tentara jawa membabat habis pepohonan sampai tanah merahnya tampak dari tanjung ringgit. Hal tersebut rupanya disaksikan oleh orang-orang tua kami dengan tangis, mengenang kehidupannya ketika diseberang.
Sejak itulah Pulau Libukang ditinggalkan oleh penduduknya, kebahagian besar bergabung dengan komunitasnya yang telah mendominasi wilayah pesisir Kota Palopo dan beberapa diantaranya bermigrasi ke utara Baebunta, Masamba, terus ke timur Malili dan sekitarnya, terus ke daerah Tenggara dan sampai Parigi Moutong serta menyebar ke selatan daerah Bua, Balambang sampai pada wilayah Paconne, bahkan ke Larompong dan seterusnya.
Sejak kehidupan Masyarakat Libukang terfokus ke kota, maka dibangunlah Masjid di Kampung Penggoli kala itu, Masjid Tertua setelah Masjid Jami’ di Kota Palopo. Dibangun sebagai simbol semangat Keislaman dan Semangat Persatuan Wija To Libukang.
Muhammad Karimun Puang Opu Tominahaya atau yang lebih populer dikenal Puang Opu, sebagai Khalifah yang mengawal transisi perpindahan tersebut, beliau juga merupakan Veteran Pejuang Tana Luwu dan Mantan Pegawai Departemen Penerangan, kala itu. Selama kepemimpinannya, Wija To Libukang sangat terjaga persatuannya.
Editor : Nasruddin